Minggu, 15 Oktober 2017

Mengukur diri sendiri dalam melangkah (Gusti Ratu Kidul)

"Apa yang terjadi, anakku? Duka menyelimuti seluruh hati dan jiwamu. Semua beraroma kekelaman dan kegelapan."

"Entahlah Gusti Ratu, aku tidak memahami sesungguhnya apa yang terjadi dengan diriku sendiri. Perjalanan yang demikian melelahkan bagaikan melintasi padang-padang yang beraneka warna membuatku tidak tahu apa yang aku rasakan. Kadangkala aku merasa melintasi padang gurun yang demikian tandus, kadangkala aku merasakan mendaki gunung yang demikian terjal. Sesekali aku merasa terhempas ke dalam jurang yang demikian dalam. Tetapi ada saatnya juga aku merasa berjalan di padang bunga yang demikian wangi dan indah, di mana kebahagiaan dan suka cita menyelimuti seluruh jiwa dan ragaku, semuanya berwarna, dan sungguh saya sendiri sampai tidak bisa mengidentifikasikan semuanya." 

"Apa yang kau pikirkan?"

"Bisa jadi saya salah mengukur diri saya sendiri, bisa jadi saya terlalu berlebihan, atau bisa jadi saya tidak tahu diri, atau saya salah mengambil sikap dan langkah dalam melakukan seluruh perjalanan ini. Dan kali ini saya merasa salah total, saya merasa seperti malu dengan diri saya sendiri. Bahwa saya merasa berarti buat orang lain, tetapi sesungguhnya saya bisa jadi sangat menyebalkan bagi orang lain. Atau bisa jadi saya merasa telah berbuat banyak buat orang lain, tetapi bisa jadi saya malah menyusahkannya. Atau bisa jadi saya merasa telah memberikan yang paling baik yang saya miliki, yang terbaik dan tidak pernah diberikan oleh orang lain, tetapi bisa jadi mereka tidak membutuhkannya. sebuah refleksi yang sangat panjang dan dalam, di mana saya akhirnya merasa, betapa masih banyak saya harus menyadari sepenuhnya bahwa saya masih banyak harus bercermin dan belajar lebih jauh untuk menjadi lebih baik, bahwa apa yang saya lakukan, apa yang saya miliki, atau bagaimana saya menerapkannya membuat sekeliling saya tidak merasa nyaman."

"Saya begitu menikmati kekurangajaran saya, di mana orang lain sesungguhnya sangat tidak suka dengan sikap saya, saya sangat ingin melakukan sesuatu orang lain, tetapi bisa jadi dia sebenarnya ingin saya pergi dari dirinya. Sungguh Gusti Ratu, gelap rasanya hati saya berselimut dalam duka. Penyadaran diri adalah bagian dari proses yang harus kita lakukan, untuk melihat segala sesuatunya menjadi lebih baik dari hari kemaren."

"Betapa saya ingin meninggalkan semua gelanggang ini, jika saya boleh memilih, dan memulai kehidupan yang lebih baik dan berbeda. Di mana saya bisa menjadi manusia yang lebih baik, yang tidak menyusahkan orang-orang yang berada di sekitar saya."

"Saya sudah berusaha melakukan semuanya dengan niat yang paling baik, yang paling tulus dari dalam hati saya, dari perasaan saya yang paling dalam. Dan ternyata itu semua belumlah cukup, lagi-lagi saya harus belajar keseimbangan. Bahwa semua harus dilihat lebih dalam, untuk melihat keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan satu bagian dengan bagian lainnya, tidak bisa hanya satu bagian saja. Baik itu bukan hanya buat diri saya saja, baik buat Tuhanmu, bisa jadi baik buat sesama saya, dan jangan pernah lupa juga harus sama baiknya untuk semesta alam yang melingkupinya. Kebahagiaan itu harus bisa dirasakan oleh semua pihak yang terlibat di dalam langkah dan perjalanan saya."

"Anakku, perjalanan bukan hanya dilihat dari niat baik saja, tetapi bagaimana kamu melakukannya, bagaimana kamu menjalankannya, cara yang kau lakukan. Semua tetap harus dalam satu rangkaian kebaikan yang menjadi milik semua mahluk, dan bukan hanya milikmu saja. Dan sekarang apa yang kau inginkan?"

"Saya ingin memenepkan seluruh perasaan saya, seluruh perjalanan dalam sebuah cerminan diri, baik dan buruk, hingga akhirnya kita berbenah. Dan saya belum tahu apa yang harus saya lakukan ke depan. Tetapi seandainya saya boleh memilih, saya ingin bertemu dengan orang-orang baru, dengan keadaan yang baru, dengan situasi yang berbeda. Sehingga saya tidak harus dikait-kaitkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lalu. Baik dan buruk, saya harus belajar dari kejadian sebelumnya, dan saya ingin lebih baik. Melepaskan semuanya dalam sebuah keadaan diri tanpa ikatan dengan siapapun, kecuali ikatan sepenuhnya kepada Gusti Allah pemegang kendali seluruh kehidupan saya."

"Anakku, yakinkah kamu bisa melakukan semua itu? Sanggupkah engaku melewatkan semua yang sudah ada dalam genggamanmu?"

"Gusti Ratu, entah yang ke berapa kali saya melepaskan genggaman kehidupan saya. Dan Gusti Ratu memahami bahwa tidak mudah sesungguhnya semua itu buat saya, tapi saya berusaha melakukannya, dan dalam segala suka dan duka sesekali saya bisa melewatinya. Smeoga kali ini saya bisa melewatinya. Untuk sesuatu perubahan dalam hidup saya, untuk warna-warna baru dalam hidup saya. Saya menyerahkan seluruh hidup saya kepada yang Maha Penguasa. Saya siap menerima segala konsekuensinya."

"Wo pancen bocah gendeng, jenenge siap kuwi yo artinya terserah karo Gustimu, siap kok ngarani. Kalau harus tetap kembali yang lama ya kamu juga harus tetap siap, jika kamu siap menghadapi langkah ke depan ya apapun kamu harus siap, pancen bocah ndlewer, padune cengeng we lho."  Ki Juru menyela pembicaraanku dengan Gusti Ratu Kidul, gemes karena saya kumat cengengnya, padune wegah, nglungani lelakon.




Jumat, 13 Oktober 2017

Sedekah Bagi Negeri (Gusti Ratu Kidul)

"Anakku, bahagia rasa hatiku melihat proses yang kau lalui sejauh ini. Perjalanan yang panjang dan penuh dengan lika-liku bisa kau lewati tahap demi tahap dengan gemilang. Bukan bagus tapi kegemilangan adalah dihitung dari  jarak yang telah kau tempuh, sebuah perjalanan batin, di mana engkau bisa melihat bagian demi bagian dengan sangat baik. Tidak mudah anakku, bahkan jauh lebih banyak yang tidak mampu melewati sebagian saja yang kau lewati, dan engkau anakku, engkau mampu melewati dengan baik, dengan bermodalkan kekurangajaran, cengeng, ati sak tumlik, nangisan, dan tentu saja kendablekanmu yang luar biasa itu merupakan kekuatan terbesar dalam langkahmu."

"Anakku, anak negeri. Kami semua turut bergembira untuk semua capaian ini. Capaian yang luar biasa, dan kami hanya bisa berdecak kagum, ketika engkau mampu melihat bagaimana lembaran-lembaran tipis yang mewakili berbagai macam perasaan manusia melilit ke dalam bagian-bagian tubuh"

"Banyak yang bisa memahami mahluk-mahluk simbol dari nafsu, karakter dan emosi. Walaupun banyak juga yang tidak bisa membaca simbol demi simbol itu. Kaitan satu dengan yang lain, bagian yang harus dikecilkan dan dibesarkan, bagian yang harus dibuang dan bagian yang harus tetap dipertahankan Hebatnya lagi engkau bisa memahami bagaimana menggunakan untuk perjalanan negeri ini. Mengerti bahwa apa yang kau lakukan terhadap dirimu sama saja dengan yang kau lakukan untuk negeri ini."

Aku masih bersujud di pangkuan bumi pertiwi, di tanah negeriku tempat aku dilahirkkan, saat Gusti Ratu Kidul  menyampaikan kalimat-kalimat di atas. Sebuah kebahagiaan tiada terkira aku bisa sampai di sini, rasanya aku sendiri tidak percaya dengan yang aku lakukan, semua yang aku lihat dan semua yang aku rasakan. Setelah melalui kejadian-kejadian yang bertubi-tubi dalam kehidupan lahiriah dan batiniah, ketika aku hampir menyerah dalam keiklasan untuk semua yang aku alami. Tetapi keiklasan menuntut sebuah niat dan tanggung jawab untuk tetap melangkah tanpa mempertanyakan apa yang terjadi, harus siap menghadapi segala kejadian dengan rasa yang sama, iklas dan tetap temandang.

Bisa aku katakan pahit, hidupku akhir-akhir ini penuh dengan kepahitan. Lahiriah pekerjaan kantorku berantakan, aku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Ketika aku melihat keadaanku yang menjadi tempat sampah mahluk-mahluk yang sering aku hadapi, dan mereka berpesta pora menikmati energi dalam tubuhku, akibatnya aku jatuh lemah tak berdaya, sakit ra jelas. Tugas dan tanggung jawab melekat tetapi semuanya tetap harus dijalankan, yang paling berat justru menguatkan hati untuk bisa terus berjalan dalam keadaan luka dan duka dengan air mata menghadapi tantangan demi tantangan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Sebuah perjalanan panjang tanpa ujung, sebuah perjalanan batin tanpa batas dan tanpa aturan. Tidak ada pilihan kecuali berjalan dengan iklas, seberat apapun tetap berjalan, akhirnya bukan lagi berat atau air mata, tetapi maju terus apapun yang terjadi. Saat menghadapi berbagai kesulitan yang ada, aku  hanya sempat berpikir bagaimana mengatasi dan melewatinya, akhirnya tidak ada tempat untuk duka dan air mata, tidak ada tempat untuk merasakan berat, karena yang dipikirkan hanya bagaimana keluar dari semua kesulitan ini. Bagaimana menyelamatkan diri dan melewati bagian ini untuk masuk ke bagian berikutnya.

Aku merasakan sebuah perubahan, awal dari perubahan adalah saat aku melakukan dua pekerjaan batin yang sama beratnya, pekerjaan yang benar-benar menguras waktu, tenaga dan pikiranku hingga aku benar-benar merasa sangat tak berdaya karena kehabisan energi. Dan dua orang ini bisa dikatakan adalah orang yang sangat mampu secara materi, sangat jauh bandingannya dengan diriku. Aku tidak bisa menceritakan bagaimana beratnya aku melewati itu semua, tetapi lagi-lagi bahwa segala sesuatu harus tetap dilakukan jika kita sudah mengatakan sanggup, sebuah konsekuensi dari sebuah janji. Aku tahu aku mampu melakukannya, walaupun aku tahu itu sangat tidak mudah.

Jika aku bicara pekerjaan maka sudah selayaknya aku akan menghitung dengan nilai materi yang sangat besar untuk sebuah hasil yang memuaskan, tetapi hal yang aku lakukan adalah hal-hal yang tidak mudah diceritakan bagaimana aku menghadapi segala hal dengan segala lika-likunya. Akhirnya atas nama laku dan iklas, temandang dan mlaku akhirnya aku meniatkan di dalam diri, jika saja kita bersedekah kepada fakir miskin, maka itu adalah hal yang biasa, tetapi jika kita bersedekah kepada mereka yang berlebihan maka itu adalah hal yang tidak biasa. Aku mengawali segala langkah dengan niat baik, sedekah bagi mereka. Karena mereka semua adalah manusia biasa, ciptaan Tuhan, sama halnya manusia miskin yang sedang membutuhkan sedekah, dan akhirnya aku bisa meneruskan langkahku dengan rasa yang lebih ringan, ketika aku mengucapkan keiklasan dalam sebuah sedekah. Bismillah aku bisa melangkah, dan bisa mulai melanjutkan perjalanan.

Aku sangat meyakini bahwa setiap niat baik yang kita lakukan selalu ada upahnya, upah lahir dan upah batin. Dan jika kita tidak mendapatkan upah lahiriah maka kita akan mendapat upah batin berupa pahala yang menjadi tanaman abadi buat kehidupan kita, dan bisa kita ujubkan dalam doa sebagai tanaman untuk anak dan seluruh keturunan kita. Menyerakan seluruh urusan dunia kepadaNya, dan melepaskan seluruh hitungan matematika kepada Pemilik Kehidupan adalah sebuah jurus pamungkas dalam menghadapi segala kesulitan. Lagi-lagi aku bersujud kepadaNya, menyerahkan seluruh kehidupanku kepadaNya dalam sebuah rengkuhan tangan semesta yang jauh lebih besar daripada tanganku sendiri.

"Anakku, kehidupan sesungguhnya adalah lahir dan mati, hanya dua bagian itu yang paling utama. Semua kejadian yang menyertai dalam kehidupan adalah pelengkap, aksesoris, hiasan dan bagian dari perjalanan. Kita dilahirkan dalam keadaan sendiri,  kosong, tanpa aksesoris, tanpa hiasan. Demikian juga saat kita akan mati, sendiri dan kosong tanpa apapun. Saat lahir dan mati adalah kosong dan sendiri jika kita lihat secara lahiriah. Iya, tidak ada yang salah, semua benar adanya. Tetapi jika engkau mau membuka mata hatimu, benarkah engkau sendirian, benarkah engkau lahir dan mati dalam keadaan kosong?"

Aku menunduk, tanpa kusadari hatiku merasa pilu, wajahku merebak hangat, dan aku merasakan mataku mulai basah. Sebuah penjelasan dengan akhiran pertanyaan yang mampu menghujam dalam jauh ke  lubuk hatiku. Aku terhenyak dalam sebuah kesadaran besar, bahwa saat kita lahir dan mati itu tidak sendiri, tidak kosong, ada yang menyertai dari semua kejadian kehidupan. Di mana amal dan soleh, doa-doa  leluhur kita, restu kedua orang tua kita menjadi bekal saat kita dilahirkan, dan saat kita mati adalah doa-doa kita, doa-doa orang yang kita kasihi yang akan menemani kita, juga amal soleh dan seluruh sedekah yang kita lakukan adalah bekal yang tak terhingga. Dan sungguh kita tidak pernah datang dan pergi dalam keadaan kosong.


Aku berhitung dengan diriku sendiri, melihat ke belakang untuk seluruh perjalananku yang banyak diwarnai dengan kekelaman dan langkah-langkah yang salah. Lagi-lagi aku bergidik membayangkan semuanya, bahwa dengan tindakan dan pikiranku itu maka kegelapan yang akan menyertai perjalananku nantinya. Mereka adalah penggelap jalanku, sedangkan amal sedekah dengan keiklasan yang aku lakukan adalah bekal sebagai penerang dalam perjalanan hidupku.

"Terimakasih Gusti Ratu, telah membantu dan menemani saya menemukan sebuah hikmah kehidupan yang demikian besar, sesuatu yang tak ternilai, pemahaman akan kejadian kehidupan."

"Anakku, semua ini tidak akan kamu peroleh jika kamu tidak melakukannya dengan iklas untuk mereka yang benar-benar membutuhkan, dan kamu mengambil keputusan untuk tetap melakukannya sendiri, tanpa berharap imbalan dengan dilandasi niat baik. Dan karena niatmu inilah engkau mendapatkan apa yang memang sudah seharusnya kau dapatkan.  Semua itu adalah anugrah kehidupan yang memang sudah menjadi jatahmu, takdirmu. Bukankah engkau selalu meyakini, jika engkau melepaskan hal-hal duniawi engkau akan mendapatkan upah yang tidak bersifat duniawi, dan inilah yang kau peroleh untuk semua yang telah kau lepaskan."

Aku bangun dari sujudku, dan aku melihat sekeliling. Seperti biasa banyak sesepuh yang hadir di sini, kali ini nuansa kuning ada hampir pada semua yang aku lihat dengan mataku. Baju Gusti Ratu Kidul yang hadir dengan warna kuning keemasan, tetapi kali ini ada beberapa aksesori berwarna hitam pada garis-garis tepi bajunya yang benar-benar pas di badannya. Baju lengan pendek tanpa kerah, dengan bentuk-bentuk bordir hitam  melengkung di seluruh pinggirannya. Demikian juga kali ini Gusti Ratu mengenakan selendang hitam dengan bordiran kuning lengkung di sepanjang pinggirannya. Mahkotanya yang dipakai kali ini berbeda dari yang biasanya, mahkota seperti yang dipakai oleh Werkudara dari dunia pewayangan, dengan intan berlian berwarna putih dan kuning, lagi-lagi aku melihat sebagian warna hitam di bagian depan tengah pada mahkotanya. Aku benar-benar mengagumi sosok yang luar biasa ini, sesepuh sekaligus guruku  yang akhir-akhir ini selalu menemaniku dalam melangkah. Udara semerbak, lebih cerah karena cahaya seperti berubah menjadi kuning keemasan, dan aku hanya bisa mengatakan bahwa suasana kali ini benar-benar megah, berwibawa dan aku seperti tidak mampu berkata apa-apa lagi.

Aku merasakan dalam sorotan mata sesepuh, sebuah restu yang tulus dan dorongan semangat yang besar untuk aku melanjutkan seluruh langkah yang harus lakukan, sebuah perjalanan negeri, sebuah langkah batin untuk membalikkan keadaan negeri. Dan aku bangkit berdiri, saat sesepuh semua mendekat kepadaku. Tak mampu lagi aku menahan diri saat Gusti Ratu merengkuhku dalam pelukannya yang hangat dan menentramkan, tumpah sudah semua tangisku, tangis kebahagiaan, tangis kelegaan, tangis duka dan semua perasaan aku tumpahkan kepada Gusti Ratu yang semakin  memelukku erat.

Jagad batin negeri ini bergolak, untuk sebuah langkah yang baru saja aku lakukan, membalikkan keadaan negeri. Jika beberapa waktu sebelumnya aku memutar keadaan negeri, dan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Maka kali ini yang aku lakukan adalah membalikkan keadaan negeri. Atas dan bawah dengan penampang yang berbeda, jika selama ini bagian bawah penampang dihuni oleh mahluk-mahluk yang mewakili nafsu dan maksiat, kekuasaan dan keserakahan, kemalasan dan kelicikan. Sedang di bagian atas penampang adalah roh-roh lambang kebaikan, yang tidak bisa masuk ke dalam jiwa penghuni negeri, karena tertutup oleh penampang. Akhirnya kebaikan hanya menjadi sebuah wacana yang tertuang dalam kata-kata tanpa ada perbuatan, negeri wacana, negeri kata-kata tetapi penuh dengan kemunafikan, maksiat dan keserakahan.

Dan saat aku mampu membalikkannya, aku melihat mahluk-mahluk itu ternyata sangat-sangat besar dengan segala bentuknya yang nggegirisi. Ular sampai nggombyok seperti kumpulan jamur karang yang jika diperhatikan lebih jauh adalah kumpulan ular-ular yang demikian banyak yang membentuk gundukan demi gundukan. Pemandangan yang benar-benar menjijikan, tetapi inilah pemandangan batin negeri ini. Belum lagi lendir-lendir yang ada di sekitar mahluk-mahluk itu sungguh kotor, amis dan sangat berbau. Benar-benar pekat, pertanda kehidupan kelam telah menjadi bagian dari sebagian besar rakyat negeri ini. Mahluk-mahluk menjijikkan yang beragam bentuknya itu saling menumpuk, saling menyedot, saling bergesekan dan semua benar-benar mengerikan, mewakili seluruh tingkah laku rakyat negeri ini. Selalu saja, aku belum bisa menghilangkan perasaan mual saat melihat semua keadaan itu. Aku melihat beberapa wajah mahluk itu tersenyum, artinya mereka sangat menikmati dan bangga telah melakukan kemaksiatan dan keserakahan yang mengerikan. Inilah karakter negeri saat ini, jauh dari ramah tamah, jauh dari baik hati, jauh dari kebaikan, hilangnya nurani-nurani negeri. Aku hanya mampu mengucapkan istifar di dalam diriku, sama halnya, aku menyadari bahwa apa yang aku lihat, bagaikan cermin yang mengarah ke diriku, bahwa ada sebagian mahluk itu yang ada di dalam diriku. Kesadaran diri, tahu diri. Walaupun untuk keserakahan masih jauh dari dalam diriku. Tetapi nafsu dan segala hal sifat yang tidak baik, tentu saja aku ada, manusiawi, aku bukan dewa.

Satu persatu aku balikkan, bagian demi bagian aku lakukan dengan hal yang sama. Melewati sekat-sekat negeri, batas demi batas batin agar jangan ada bagian yang terlewatkan. Semua mahluk terlihat dengan jelas di bawah paparan cahaya batin negeri, dimana mereka sedang berpesta pora dalam kesenangan di dengan menghisap dan mengambil bagian milik rakyat-rakyat negeri. Di negeri munafik ini jangan pernah berharap keadilan apalagi pemerataan. Semua pemimpin dan pengusaha hidup dalam topeng-topeng  kemunafikan dan keserakahan, jangan bicara nurani apalagi kebaikan. Semuanya bagaikan omong kosong yang menjadi penghias di bibir saja.

Ketika sebagian besar bagian ini sudah dibalikkan, aku mulai membuka lorong-lorong pintu dimensi negeri. Aku mengembalikan mahluk-mahluk yang bisa dikembalikan ke tempat asalnya. Tetapi itu hanya bisa aku lakukan bagi yang ukurannya sedang dan kecil, tetapi tidak yang besar. Mereka masih bertahan di tempatnya, membutuhkan kekuatan lebih, Aku melanjutkan langkahku, sedikit demi sedikit mulai berkurang gundukan-gundukan yang terbentuk. Mereka kembali ke tempat asalnya.  Setidaknya kali ini aku telah menemukan cara yang baru, membalikkan keadaan negeri setelah melakukan perputaran negeri.

Dari dulu aku melihat ada yang bermain terhadap negeri ini, pintu-pintu masuk terbuka untuk kegelapan dan kemaksiatan, maka yang harus kulakukan adalah menutup jalan masuknya. Tidak bisa aku salahkan, karena rakyat negeri ini atas nama ketidakpahamannya, mereka memberi ruang yang demikian besar untuk tempat tinggal mereka. Aku bisa sangat mengerti karena mereka benar-benar buta mengenai hal ini.

Teringat hal terakhir yang aku tahu, adalah bagaimana melepaskan himpitan dan lilitan mahluk-mahluk itu. bagaikan kain yang dililitkan ke tubuh, bagaikan tali yang harus dilakukan adalah melakukan pemutaran dengan arah sebaliknya, sehingga lilitan itu akan lepas dengan sendirinya. Melakukan hal terbalik dengan yang mereka lakukan, dan inilah makna dari spiritual negeri.

saat mereka memutar ke arah putaran jarum jam untuk melilitkan tubuhnya, maka aku akan membuat putaran terbalik dari arah putaran jarum jam dengan angin dan benda-benda yang selalu tersedia di jagad batin, dan akan menutup pintu masuk buat mereka, tetapi putaran ini sekaligus akan mengeluarkan mereka yang ada di dalam negeri ini. Betapa takjubnya aku melihat semua ini. Rasanya  aku sendiri tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan, ketika semua piranti sudah terpasang, aku bisa melihat pemandangan yang luar biasa, mahluk dari luar tidak bisa masuk ke negeri nusantara, tetapi yang dari dalam keluar dari negeri ini. Mahluk-mahluk besar mulai terganggu keberadaannya, karena tarikan-tarikan kekuatan putaran yang tidak besar tapi sangat konstan membuat mereka mau tidak mau bergerak dari posisinya.

Seperti biasa, jika ada perubahan keadaan negeri maka kita akan bisa melihat bencana-bencana alam yang menyertai perubahan  negeri. Sebuah pertanda dan sebuah sasmito.

Aku menundukkan kepala, melantunkan sebuah niat dan doa, "Kusedekahkan semua yang kulakukan ini untuk negeri ini, kepada seluruh penghuni negeri dan seluruh semesta yang menaunginya, Bismillah."