"Sebentar, nduk". Ki Juru Martani
memanggilku dengan wajah tersenyum. Aku melihat sekilas, senyumnya bermakna
aneh. Hatiku curiga, biasanya jika Ki Juru tersenyum tidaklah
mungkin tanpa makna, makna iseng dan jail. Isi kepalanya selalu bundet dan
ruwet.
Masih dengan wajah curiga aku menjawab sapaan
Ki Juru, "ya, Ki?"
"Aku mau menyampaikan hal yang masih
mengganjal di pikiranku, sesuatu yang tidak biasa".
"O ya? Apakah itu terkait dengan
saya?"
"Ya pasti tho, nduk. Karena memang
begitulah adanya, kamu itu pepunden hati para sesepuh, kelangenannya kami.
Segala sesuatu yang menyangkut dunia batin nusantara ini tidak akan jauh-jauh
dari dirimu".
Aku tidak dapat menutupi rasa curigaku, Ki Juru
adalah perlambang kemenangan strategi perang, puncak keilmuan bathin, tetapi Ki
Juru juga gudangnya keisengan, meledek, dan mengerjai orang. Dan aku, sebagai
satu-satunya momongan, adalah korbannya yang tak pernah ada habisnya.
"Wahyu keprabon atau wahyu kedaton
perlambang sebuah titisan, sebuah wahyu yang melambangkan anugrah sebuah
kepimpinan negeri, puncak kekuasaan adalah impian dan pujaan dari setiap pemuja
kekuasaan. Perempuan yang menjadi wadahnya juga perempuan pilihan, bukan
sembarangan. Selain ayu dan cantik, biasanya adalah turunan ningrat, berdarah
biru. Seorang Ken Arok tega membunuh Tunggul Ametung dengan Keris buatan Mpu
Gandring untuk mendapatkan Ken Dedes. Seorang penguasa akan kehilangan wahyunya
jika pendampingnya sudah meninggal. Begitulah hebatnya kebesaran wahyu
keprabon yang manjing kepada perempuan sebagai perantara, pemegang wahyu
kedaton. Wahyu keprabon, pralambang puncak kekuasaan negeri, begitu mempesona,
hingga siapapun pasti menginginkannya".
Ki Juru berhenti sejenak, diam, sekilas
melihatku. Perasaanku mulai terasa tidak enak tetapi aku berusaha tetap diam
tanpa ekspresi menunggu penjelasan Ki Juru. Kupasang pendengaranku,
dengan menahan diri untuk tidak meninggalkan paseban agung. Melihat Ki Juru
tersenyum aku semakin curiga.
"Lha sekarang ini jamannya memang sedang
jaman edan, jamane kowalik walik, ireng dadi putih, apik dadi elek, elek dadi
apik. Sampai namanya wahyu keprabon kewalik dadi wahyu kedaton. Putri yang
kepanggonan wahyu kedaton sing biasane ayu kemayu mawiru-wiru, lha kok yo
saiki melu kowalik walik. Kebalik yang parah sekali, masak sesuatu yang
demikian besar dan demikian agung kok ya jatuh di dirimu. Hahahha". Ki
Juru tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu itu sudah tuwek, jelek, ireng
tuntheng koyo areng tur lemu ginuk-ginuk menuk menuk. Kelakuannya saja kurang
ajar, nyelelek, ora sopan, ora iso dithotho. Jauh dari sopan, jauh dari bener.
Jangankan mau mengambil sebagai pendamping hidup, melihat saja males, apalagi
mendekat. Hoa hoa...", sungguh Ki Juru tertawa tergelak-gelak tanpa dapat
dikendalikan lagi, dan berikutnya aku menyusul tertawa walaupun tidak sekeras
Ki Juru. Kami tertawa bersama-sama. Benar saja, kecurigaanku tidak salah,
tetapi apa yang disampaikan Ki Juru benar-benar lucu. Sungguh Ki Juru adalah
simbol kelucuan di dunia jagad bathin, dunia para sesepuh. sebagai satu-satunya
korban ledekan Ki Juru, lama-lama aku sudah kebal. Gurauannya selalu membuatku
tertawa, lucu dan tidak pernah membosankan.
"Ki Juru, bagaimana mungkin saya bisa cantik menarik, jika
setiap hari harus berlatih di bawah paparan matahari siang. Malam harus
berlatih di alam terbuka. Jadilah saya yang gagah perkasa hitam legam bagaikan
Mahapatih Gajahmada, kebungkus awak wadhon."
"Kuwi awakmu lemu opo pothok (kekar), tho?" Ki Juru
masih tersenyum meledekku.
"Otot kawat balung wesi tapi gosong, Ki", aku menjawab
tak mau kalah.
"Otot kawat balung wesi sing koyo Werkudoro kuwi yo tetep
gagah pidhekso, khi nduk. Iki otot kawat balung kayu seko glugu tur wes
gimbur-gimbur, hahahhaha". Ki Juru berusaha menahan ketawanya, dan
melanjutkan,"Yo yo yo, memang harus jatahnya sekarang ini pemangku Wahyu
keprabon harus yang berbadan kekar berhati jembar, dan ada lagi, harus edan dan
gendeng. Gandeng sekarang ini jamannya jaman edan, maka harus dihadapi dengan
berpikir seperti layaknya wong edan. Dan kamu? hahahhaa, kamu adalah orang yang
memenuhi syarat ini. Membawa tugas berat, harus kuat raganya, kekar, biar tidak
gampang jatuh terkena serangan-serangan maut. Otaknya tidak waras, edan tenanan
dan memang kurang ajar dari bawaan bayinya, untuk menghadapi orang-orang dan
tatanan jaman yang sudah menggila, mengobrak-abrik tatanan yang sudah tidak
layak dipertahankan. Memandang dari sudut yang terbalik, hahahaha, gendukku
sing ayu dewe emane kok uthekke gendeng. Menyerang dari arah yang sama, tentu
sjaa tidak akan berhasil, karena mereka sudah menyusun pagar tembok dari
bethon, yang tak akan hancur diserang oleh wedhus gembel sekalipun. Kali ini
kamu harus melakukannya dari sisi yang berbeda, dan ini hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang memang dasarnya utheknya sudah kewalik-walik
sepertimu. Uthek bundet tur ruwet, nanging kok ya cespleng tho ya. Cerdas dan
mumpuni walaupun athinya sak tumlik, cilik, tur nangisan. hahahhah". Ki
Juru mengakhiri pituturnya dengan tertawa terbahak-bahak.
Sungguh sudah kebal rasa hatiku mendengar semua guyonan dan
celelekan ala Ki Juru, guyonan waton tur maton. Melaksanakan tugas berat memang
membutuhkan bekal yang tidak sedikit. Aku harus mampu melakukan olah rogo,
dengan melakukan gerakan dan olah nafas di bawah paparan matahari, sedangkan
untuk mengolah kekuatan rasa, juga harus dibarengi dengan olah raga di bawah
paparan rembulan, udara malam yang dingin dan menusuk tulang. Semua harus
seimbang, bahkan kadangkala diselingi dengan berendam air di sungai tempuran
atau di pinggir pantai. Urip kuwi laku, urip kuwi laku kanthi mlaku, mlaku kanthi laku. Sebuah putaran kehidupan yang satu menajdi bagian yang lainnya, jangan pernah memisahkannya. memisahkan berarti menghilangkan maknanya.
Kekuatan bathin harus berada di dalam raga yang kuat. Kekuatan
bathin akan menjadi lebih bagus lagi jika disertai dengan kemampuan
intelektual. Tiga hal yang tidak dapat dipisahkan, cipto, roso dan karso. Semua
saling berkaitan, menjadi dukungan dalam setiap langkah. Cipto mendukung karso,
roso didukung cipto, begitu seterusnya. Niat dan semangat adalah bagian dari
tindakan. Tindakan berasal dari pemikiran yang sudah tertata. Tidak bisa
dilepaskan satu dengan yang lain.
Tugasku kali ini memang tidak mudah, memegang
tanggung jawab negeri, pemegang wahyu keprabon, menata negeri, membuat sistem
bernegara dan membawa negeri ke arah yang lebih baik, sesuai dengan
cita-cita para pendiri negeri. Melakukan pekerjaan di dunia bathin, memulai hakekat
perubahan, hakekat penataan negeri dengan memulai dari sisi bathin.
Negeri ini adalah negeri kehidupan, kepundan bumi. Menata sisi
bathin dan diharapkan sisi lahirnya akan mengikuti. memutar cakra manggilingan,
meniupkan hawa kebenaran dan pemikiran yang berpihak kepada rakyat. Memusnahkan
sebagian besar angkara murka yang sduah mendarah daging di bumi nusantara.
Melaksanakan tugas negeri, tugas bathin. Tugas yang mau tidak mau harus
dilakukan, suka tidak suka, seberat apapun, sesusah apapun. Menerima dengan
iklas, melaksanakan dengan pasrah, menjalani dengan keyakinan.
Kebesaran sebuah negeri dapat dicapai jika di
bathin yang melingkupinya tercipta keseimbangan semesta. Semesta lahir
bathin. Menata sesuai dengan proporsinya. Sehingga semuanya tidak ada yang
saling mendominasi, saling menginjak. Demikianlah diperlukan kemampuan
spiritual dan intelektual dari pemimpin negeri nusantara, karena negeri ini
adalah negeri spiritual. melihat hanya dari sisi lahir sama saja kita
menafikkan dunia bathin yang berpengaruh besar pada kehidupan negeri ini. Hanya
kepada beliau-beliau pemimpin besar dengan lambaran spiritual yang bisa menjadi
besar. Jangan berharap negeri ini dibawa kepada negeri berdasarkan syariat dari
tanah seberang, karena jiwa dan roh negeri ada di sini.
Melihat situasi sekarang ini, sepertinya memang
belum ada yang layak untuk mendapatkannya. Wahyu keprabon membutuhkan
syarat dan ketentuan bagi yang mendapatkannya. Si penerima harus mumpuni lahir
dan bathin, berkarakter kuat dan baik. Masih ada waktu untuk berbenah, untuk
menata diri, menyiapkan kemampuan diri agar pantas dan layak.
Memimpin negeri artinya menyerahkan hidup dan dirinya untuk nusantara. menghilangkan aku, memberi dan bukan menerima, menjadi pengayom dan bukan untuk diayomi. mengendalikan dan bukan untuk dikendalikan. Menjadi panutan dan bukan menjadi pengikut. Menjadi pemimpin dan bukan yang dipimpin. Menentukanm arah perjalanan negeri dan bukan mengikuti arah. Sungguh sesuatu yang tidak bisa dinalar dengan otak dan akal manusia biasa.
Tetapi demikianlah adanya. Dunia bathin yang
sempat sumpek, kisruh, tanpa ada pemimpin, tanpa da yang mengaturm, tanpa
tatanan, perlahan tapi pasti sudah mulai terlihat arahnya, terlihat tatanannya.
menjadi penyegar dalam kehidupan bathin, menjadi pemimpin dan menjadi panutan.
Dunia bathin adalah cerminan dunia lahir, menata bathin artinya menata dunia
lahir. Melihat arahnya maka semuanya berani berharap bahwa negeri ini sedang
memulai langkahnya untuk berbenah, sama dengan yang terjadi di sana.