Minggu, 26 Januari 2014

Wahyu Keprabon





Wahyu keprabon, sesuatu hal besar yang sangat diharapkan. Yang dinantikan. Kekuatan besar yang tek terbendung. Setiap perjalanan, setiap proses, entah berapa kali aku dihadapkan dengan sesuatu yang disebut wahyu keprabon.

Mungkin bukan aku saja, tetapi juga para pelaku spiritual lainnya. Kakiku pendek, langkahku dekat, jangkauanku terbatas, maka mungkin bisa jadi sebenarnya apa yang kupunya masihlah sangat dangkal.

Setiap pemimpin besar  mempunyai jejak spiritual, karena negeri ini negeri nusantara, negeri timur, seorang pemimpin hendaklah genep lahir dan bathin. Artinya seorang pemimpin akan mampu memimpin negeri ini jika dilengkapi dengan kemampuan spiritual, selain kemampuan utama, kemampuan intelektual dan kemampuan kepemimpinan.

Mengertilah aku sekarang, wahyu keprabon, adalah wahyu, yang ternyata adalah kekuatan yang juga bisa terpecah-pecah, tergantung laku yang dijalaninya. Termasuk juga di dalamnya adalah jatah dari Yang Maha Kuasa. Besar kecilnya tergantung jatahnya, tergantung besarnya wadah dirinya, seberapa jauh dia telah memperluas wadah, melatih dirinya. Sebuah proses adalah memperbesar wadah, memberi tempat utk hal yang baru.

Sedang selama ini kekuatan itu hanya sebagian-sebagian, sepotong-sepotong, tidak utuh. Maka kemampuan seorang pemimpin tidak akan mencapai pada tahapan yang diinginkan. Begitu juga dengan diriku, setelah mengikuti proses demi proses, aku malah semakin tidak yakin, mungkinkah yang kulihat hanya sebagian kecil saja.

Perjalanan spiritual BK, Panembahan Senopati, Ki Juru Martani, Tri Buana dan seorang Soeharto. Terpotretkan, tapi apakah sudah mencakup semuanya? Sungguh aku tidak berani menjawabnya.

Yang bisa kulakukan hanya menjalankan semua tugas spiritual negeri, menata satu demi satu, dengan segala kemampuanku. Berharap lahirnya akan mengikuti, dan sejauh ini semuanya telah menunjukkan hasil yang bisa terbaca. Perubahan telah dimulai, satu demi satu kezoliman sudah mulai dihancurkan. Masih banyak, dan masih jauh, tp aku telah memulainya.

Berikutnya aku menjadikan diriku penjuru, menjadikan pusat segala kekuatan. Hingga segala yang baik akan datang padaku, seluruh kekuatan yang pernah tersimpan di negeri ini. Yang telah dibawa pergi ke luar nusantara, hingga yang telah menjadi puing-puing di negeri sendiri. Berharap semuanya menyatu, membuat diriku bagaikan vacum cleaner, menarik, menyedot. Yang kulakukan hanyalah menambah daya tariknya, daya putaran yang semakin besar dan bertambah besar. Tak terukur.

Pengabdian, cinta negeri, menjadi damparing, menjadi lambaring adalah sama saja kita mempersiapkan diri untuk menghadapi segala hal yang lebih besar. Sujud yang tak pernah berhenti untuk kebesaran negeri ini. Semoga Tuhan merestui.


Senin, 13 Januari 2014

Kawah Condro Dimuko

Kawah Condro Dimuko adalah kawah yang diyakini  menjadi tempat penggemblengan calon pemimpin negeri. Pemimpin dilambangkan sebagai orang yang mempunyi kekuatan lahir dan bathin, harus mampu menjadi pandega. Berada di depan sebagai panglima, sebagai lambaran, dan sebagai pengayom. Pemimpin yang menentramkan, mengademkan, membimbing, dan membawa semuanya kepada arah bernegara kepada keadaan yang diinginkan oleh semua pihak.

Dalam proses spiritual adalah laku, penggemblengan, diri pribadi. Menyatukan kepada semua unsur alam, air, tanah, udara, dan api. Pada proses penggemblengan diri, maka semua penyatuan diri dengan semua unsur itu wajib dilakukan. Maka dalam laku dikenal ada berendam di tempuran sungai, di pantai, maupun di mata air untuk menyatukan diri dengan unsur air, menyerap energinya, menyatukan diri dengan karakter air. Luwes, menyejukkan, menyesuaikan dengan wadahnya, menghidupkan (menyehatkan).

Topo Pendem, dikubur di dalam tanah, adalah saat menyatu dengan tanah tempat berpijak, ada juga yang hanya melakukan latihan dengan menempelkan seluruh badannya kepada bumi dalam jangka waktu yang agak lama (berjam-jam). Menyatukan dengan tanah, menyerap energi yang terkandung di dalamnya, artinya belajar menjadi lambaran, menjadi pijakan. Dalam dunia nyata, maka manusia yang telah menjadi satu dengan karakter tanah akan menjadi manusia yang sabar, bisa memahami dan menerima semua karakter manusia di sekitarnya, yang sangat berbeda dan bertolak belakang. Tanah adalah lambaran dan damparan.

Unsur alam berupa angin mempunyai karakter mampu menembus semua bagian, setiap relung, atau ruang kosong. Tidak terihat tapi ada, kecepatan bagaikan angin. Mewakili karakter manusia yang jeli, melihat kelebihan dan kekurangan, melihat segala kemungkinan yang terjadi.

Ketiga unsur alam tersebut dengan kekuatan yang sedikit bukanlah bencana, tetapi menguatkan, menghidupkan, dan menyejukkan. Lain halnya dengan unsur api.

Api atau cahaya, adalah unsur alam yang bersifat panas. Berlatih di bawah paparan matahari membuat semua unsur ini akan menjadi genep. Kekuatan api, adalah panas, walaupun sedikit tetapi tetap mematikan, apalagi banyak. Bagi yang mampu menguasai unsur api, maka mereka akan diberikan kemampuan ilmu perang, lahir dan bathin. Ahli strategi, mengalahkan dan mematikan. Dalam sejarah leluhur dikuasai oleh PS, Ki Juru Martani, dan BK.

Kawah Candra Dimuko dalam keilmuan bathin dimanifestasikan dengan pembakaran dirinya dengan unsur api, cahaya, panas. Di dalam tulangnya dibakar dengan api, hingga semua pembuluh darah di dalam dirinya tidak lagi menyimpan para mahluk ireng, dhemit, siluman, sebagai simbol karakter "ngiwo", karakter negatif. Seorang pemimpin yang layak di berada di depan adalah seorang yang telah melewati proses ini.

Tetapi sungguh, tidak mudah mencari seorang pelaku spiritual yang telah menyatukan dirinya dengan unsur api, unsur cahaya. Apalagi yang mampu menyatukan semua unsur  alam yang ada, bagaikan avatar, sang penguasa unsur alam. Selanjutnya penggabungan semua energi itu akan  menjadikan energi emas dan berlian perlambang kejayaan dan kemegahan suatu bangsa.

Jika di dalam suatu negeri terdapat orang yang mampu menguasai ilmu ini dengan sempurna, maka bersiaplah negeri ini memasuki jaman keemasannya, kemegahannya. Maka semakin menambah keyakinan bahwa perjalanan dunia spiritual dan di dunia nyata pada suatu negeri tetaplah harus beriringan, karena memang demikianlah hakekat keseimbangan.


Minggu, 12 Januari 2014

Rumah Tinggal (Tempat) Mahluk Halus

Jika melihat todan aji. Keris, tombak, kemudian batu mulia, adalah rumah yang paling bagus buat para mahluk halus. Tetapi sebenarnya rumah mahluk halus bukan hanya tosan aji saja, mereka ada yang tinggal di pohon, di batu, di mana saja mereka ada.

Hakekat mahluk halus memang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Demikian juga sejatinya manusia yang sudah belajar spiritual. Tetapi mereka tetap membutuhkan tempat yang tinggal yang tidak mudah diusik, privacy.

Jika selama ini manusia hanya mengenal rumah yang disebutkan di atas, maka sebenarnya ada satu rumah lagi yang sangat luas, bisa seperti kebun besar, bisa jadi seperti negara atau propinsi. Maka tempat tinggal yang maha luas, yang bisa diisi beraneka ragam mahluk halus adalah manusia.

Tulang belulang adalah layaknya tiang bangunan. Maka seringkali manusia diistilahkan dengan badan wadaq, tempat. Filosofisnya memang menjadi tempat roh sejati, roh yang menghidupkan. Selain roh, sejatinya manusia juga ditemani dengan mahluk-mahluk lainnya, yang jika dijadikan satu akan membentuk karakter manusia.

Manusia adalah manifestasi jagad ombo dan jagad alit, makrokosmos dan mikrokosmos, manusia sebagai manusia biasa, dan manusia dalam dirinya tercermin alam semesta. Demikian yang tercantum dalam kitab-kitab filsafat. Lalu bagaimanakah?

memang tidak mudah dijelaskan. Di dalam darah manusia adalah rumah tinggal yang maha besar.Maka Rosulluloh mengajarkan kita untuk senantiasa membersihkan diri kita dengan puasa dan doa. Dalam falsafah Jawa dianjurkan untuk puasa dan menjaga jenis makanan yang masuk ke dalam tubuh kita. Bagi suku Baduy dalam mereka dianjurkan menjadi vegetarian murni. demikianlah berbagai cara manusia menjaga dirinya dari pengaruh nafsu yang berawal dari makanan yang masuk ke dalam darah.

Makanan berasal dari yang haram akan kembali menjadi haram, membersihkan diri adalah sama saja menjaga diri dari segala yang tida baik.